PALOPO- Buku yang dibincang adalah Romansa Purba dalam Stanza I La Galigo karya Alvin Shul Vatrick. “Kegiatan ini merupakan respons terhadap dunia literasi, sekaligus edukasi kepada masyarakat berkaitan epos terpanjang di dunia yang harus diapresiasi. Buku yang kami bincang ini semakin menarik karena ditulis langsung oleh putra Luwu. Ya, bolehlah dikatakan bahwa I La Galigo pulang kampung.” Hal ini diterangkan oleh Andi Karman selaku Kepala Perpustakaan Supiati.
Peserta yang hadir dalam Bincang Buku ini tidak hanya berasal dari Kota Palopo. Namun, beberapa dari daerah Luwu Raya. Hal ini diungkapkan oleh Koordinator Pelaksana, Desrawan S. “Peserta dalam kegiatan Bincang Buku ini melampaui dari target yang diharapkan, yakni lebih dari 100 orang. Peserta yang hadir tidak hanya dari Kota Palopo, dari daerah Luwu Raya seperti Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur pun ikut hadir. Bahkan, ada pula dari daerah Wajo. Desrawan juga menambahkan, “kegiatan ini kami sengaja tempatkan di Koordinat Caffee Camp, Palopo. Sebab, bentuknya yang di luar ruangan (outdoor) dan peserta merasakan suasana santai atau suasana liburan atau camping”.
“Kegiatan ini sangat menarik, penuh manfaat. Alasannya sederhana, sebagai seorang mahasiswa, tentu beruntung karena sekian banyak pertanyaan berkait kisah I La Galigo yang secara langsung terjawab. Sebagai pemuda Luwu, kegiatan seperti inilah yang perlu dikembangkan, selain silaturahmi yang terjalin, juga patut berbangga karena bisa mengenal lebih baik berkait kisah I La Galigo, bukan sekadar epos yang kemudian jadi misteri”.
Pembicara dalam kegiatan ini adalah Alvin Shul Vatrick yang juga merupakan penulis buku Romansa Purba dalam Stanza I La Galigo dan drh. Syamsul Hilal, serta moderator, Syahrir.
Alvin menjelaskan, “Romansa Purba dalam Stanza I La Galigo merupakan pembeda dengan yang lainnya. Karya ini bukan buku terjemahan, melainkan sadur bebas, dengan harapan, agar bisa dipahami oleh seluruh kalangan.
“Penggunaan kata “Romansa” karya sastra yang menitikberatkan kepada Roman yang berorientasi percintaan. Disebut “purba”, sebab naskah I La Galigo ini hadir dimasa purba dan bentuk naskah awalnya adalah “stanza”, yakni berorientasi pada kumpulan larik sajak dengan tetap memperhatikan proses suku kata dalam setiap bait,” tambahnya.
Sebelum mengapresiasi karya Alvin, drh. Syamsul Hilal memulai dengan melantunkan sureq. Setelah itu, beliau menjelaskan kali pertama proses pengenalan awal dengan Alvin dan termasuk salah seorang yang berkontribusi dalam menghadirkan naskah, sekaligus berpesan kepada penulis, “silakan menyadur asal jangan melupakan pranata dan kata tertentu yang telah ada”.
Lebih lanjut, drh. Syamsul Hilal juga melakukan kritik terhadap beberapa karya sebelumnya yang disinyalir mengabaikan pranata dengan menuliskan nama Sawerigading hanya satu nama. “Nama Sawerigading lebih dari satu. Siapa yang pantas memanggil Maddukelleng, La Tenri Tappu, Lawe, dan sebagainya. Seperti itulah salah satu konsep pranata. Dan, Saudara Alvin telah mengindahkan itu dalam karyanya yang luar biasa ini,” pungkasnya. (*/AP).